Membingkai Arah Perjuangan, Melawan Belenggu Penyelewengan
Oleh : Rio Hanafi
Miris melihat kondisi indonesia tercinta dalam beberapa kurun waktu terakhir, menjadi negara berkembang selama bertahun-tahun tak menjadikan bangsa ini lebih mandiri, akan tetapi sebaliknya, letih membicarakan korupsi yang menyeruak hampir menjadi pemandangan yang biasa di negeri ini, apakah sudut pandang orang indonesia telah berubah, materi adalah segalanya dan nasionalisme serta citra bangsa di abaikan, yang berkepentingan seolah mengalihkan isu kearah normalisasi yang berbau kepentingan politis, dan malah sibuk mencari simpati, hingga pada akhirnya muncul istilah menjual negeri melalui investasi. Menarik memang, dalam dasawarsa terakhir pembangunan infrastruktur terus bergulir melalui ladang-ladang investasi asing, banyak dari kita terkadang lalai tentang bagaimana memahami arti pembangunan yang sesungguhnya, tidak hanya sebatas menggali tanah menancapkan pondasi, nyatanya inilah yang terjadi, potret suram negeri ini.
Pada usianya yang telah mencapai tujuh puluh satu tahun, terhitung sejak proklamasi di kumandangkan 17 Agustus 1945, korupsi masih nyaman dan berkembang biak bahkan beranak pinak di indonesia, mengutip dari beberapa sumber, banyak media mempertanyakan mengenai prediksi – prediksi, tepatnya tentang mimpi indonesia untuk menjadi negara yang bebas korupsi dan menjadi negara yang lebih tersohor di ulang tahunnya yang ke seratus, tepatnya pada tahun 2045 yang digadang akan menjadi puncak kemashuran eknomi, politik, dan sosial di indonesia, pertanyaannya apakah kita semua siap dengan polemik yang semakin lebar, dan terkesan terus muncul dan mencuat kepermukaan, yang menimpa bangsa kita ini,
Korupsi atau penyelewengan adalah salah satu virus yang harus dibasmi secara permanen, agar tidak menambah daftar panjang kasus-kasus yang ada. Pada tahun 2016 lalu, ICP atau Cooruption Perceptions Index memposting daftar negara terkorup di dunia, denmark menjadi negara terbersih dalam survei ini, sedangkan indonesia berada pada posisi ke 88, bukan yang terburuk memang, akan tetapi untuk mencapai mimpi menjadi negara yang bebas korupsi ini masih sangat jauh, rentetan korupsi masih menghantui para birokrat pemerintahan, tarik ulur kebelakang, kasus- kasus besar seperti Gayus Tambunan, century, hambalang, dan yang terbaru adalah terkuaknya dugaan korupsi E-KTP , yang merugikan negara hingga trilyunan rupiah. Selama korupsi belum dibasmi secara permanen, negara tercinta ini sampai kapanpun tidak akan pernah merasakan apa yang dinamakan kemajuan, karena korupsi di ibaratkan sebagai benalu yang pasif dan merugikan inangnya, mengambil sesuatu atas dasar keinginan pribadinya, tidak memikirkan dampak yang ditimbulkan. Mengutip pesan soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” bayangkan seberapa beratnya perjuangan kita bangsa indonesia untuk menjadi bangsa yang terbebas dari korupsi, seorang Soekarno dengan visi kedepannya telah mampu melihat, bahwa perjuangan yang sesungguhnya adalah pasca proklamasi, kemerdekaan adalah jembatan untuk meniti seberang, dimana di seberang itu adalah tantangan yang besar, biarpun melawan bangsa sendiri, akan tetapi supremasi hukum tetap dijunjung tinggi.
Korupsi atau penyelewengan adalah salah satu virus yang harus dibasmi secara permanen, agar tidak menambah daftar panjang kasus-kasus yang ada. Pada tahun 2016 lalu, ICP atau Cooruption Perceptions Index memposting daftar negara terkorup di dunia, denmark menjadi negara terbersih dalam survei ini, sedangkan indonesia berada pada posisi ke 88, bukan yang terburuk memang, akan tetapi untuk mencapai mimpi menjadi negara yang bebas korupsi ini masih sangat jauh, rentetan korupsi masih menghantui para birokrat pemerintahan, tarik ulur kebelakang, kasus- kasus besar seperti Gayus Tambunan, century, hambalang, dan yang terbaru adalah terkuaknya dugaan korupsi E-KTP , yang merugikan negara hingga trilyunan rupiah. Selama korupsi belum dibasmi secara permanen, negara tercinta ini sampai kapanpun tidak akan pernah merasakan apa yang dinamakan kemajuan, karena korupsi di ibaratkan sebagai benalu yang pasif dan merugikan inangnya, mengambil sesuatu atas dasar keinginan pribadinya, tidak memikirkan dampak yang ditimbulkan. Mengutip pesan soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” bayangkan seberapa beratnya perjuangan kita bangsa indonesia untuk menjadi bangsa yang terbebas dari korupsi, seorang Soekarno dengan visi kedepannya telah mampu melihat, bahwa perjuangan yang sesungguhnya adalah pasca proklamasi, kemerdekaan adalah jembatan untuk meniti seberang, dimana di seberang itu adalah tantangan yang besar, biarpun melawan bangsa sendiri, akan tetapi supremasi hukum tetap dijunjung tinggi.
Tahun 2002 bala bantuan seolah datang disaat yang telah kritis, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dibentuk dan merupakan lembaga independen yang berhak mengurusi, dan mengungkap korupsi di indonesia, berjalan berangsur-angsur telah mengungkap banyak kasus-kasus besar kinerja KPK perlu di berikan apresiasi, akan tetapi yang perlu kita tahu bahwa perjalanan KPK tidak semulus yang dikira, banyak cacian dan intimidasi dari para elit politik, belakangan tersebar di media tentang tindakan teror yang ditujukan untuk para penyidik dan ketua KPK, seolah ingin memperlemah KPK sebagai lembaga yang independen.Rentetan kisah panjang belenggu korupsi yang mendera tanah air tercinta, Indonesia, seolah memberi sinyal bagi kita, yang katanya mengerti Bhineka Tunggal Ika, mengapa tidak mampu memperkuat kolektivitas yang semakin erat senasib sepenanggungan untuk berbaur dalam nasionalisme, meruntuhkan dinasti koruptor yang menjamur menginveksi putra dan putri terbaik bangsa yang duduk di kursi-kursi penting organ vital negara, seolah membuka mata kita sebagai bangsa yang besar, yang kaya akan alamnya, bonus demografinya, luas lautannya, dan kemajemukan kultur budaya yang ada, dimanakah jati diri bangsa ini, akankah hilang ditelan badai, badai yang membawa budaya materialis para pengais uang rakyat.
Inilah saatnya men-setting ulang mindset untuk membumikan perjuangan, tidak ada kata terlambat dalam berjuang, menumbuhkan nilai, untuk saling beriringan membangun jati diri bangsa, bukan lewat media atau propaganda, tapi lewat mental sebagai pondasi atau pijakan awal untuk melangkah kedepan, mental kita harus dibangun, Fikri Cahyadi dalam bukunya Revolusi Mental Demi Mewujudkan Indonesia Emas 2045 (2015), menyatakan bahwa untuk mewujudkan bangsa yang hebat dan terbebas dari jeratan krisis moral, bangsa ini harus mengaplikasikan Tujuh nilai dasar Karakter Emosional, yaitu: jujur, visioner, tanggung jawab, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli, melalui nilai-nilai inilah agaknya ada harapan untuk memperbaiki pondasi mental dan jati diri yang hilang.
Menyelinap kebagian dalam bumi pertiwi, ke daerah-daerah yang berlabelkan otonomi daerah, banyak sekali kita temukan krisis moral yang merenggut kewibawaan, tidak lagi berkutat pada pemerintahan pusat dan para birokratnya yang terjangkit korupsi, tantangan kian terjal tatkala wabah yang satu ini, telah mengeroposi pondasi mental pemerintahan yang ada di daerah, tidak sedikit kasus-kasus penyelewengan yang menyeruak, semisal kasus yang menyeret Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Wali Kota Madiun Bambang Irianto, dan kasus-kasus yang lain yang seolah tak hentinya berjalan berdampingan dengan berjalannya waktu. Lengkap sudah krisis moral yang menambah pelik permasalahan, satu belum usai yang lain malah menggurita dan terus mewabah.
Dilatarbelakangi oleh itulah, Indonesia perlu gerakan dan gebrakan yang masif, kalo boleh angkat bicara, program revolusi mental yang gencar dijalankan dan di implementasikan kedalam kurikulum karakter, seharusnya dibarengi dengan program yang menyeluruh hingga sampai ke masyarakat luas, tidak hanya berkutat pada para pelajar, sehingga para orangtua yang ada dirumah juga paham pentingnya moral dan mental yang luhur, karena unsur terkecil dalam tatanan organisasi masyarakat indonesia adalah keluarga, dan disinilah pengajaran pola berpikir pada anak akan lebih efektif dan diharapkan mampu mencetak generasi, yang banyak kalangan menyebutnya dengan istilah generasi emas indonesia, karena ada kalanya harus meyatu padukan suatu program dan membingkainya menjadi satu alat yang diharapkan mampu menyatukan tekad seluruh masyarakat Indonesia kedalam perbaikan mental dan karakter, guna Indonesia yang bebas dari krisis moral terutama krisis moral yang berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme.