Oleh : Rio Hanafi
Buta Pemilu adalah istilah yang
saya pakai sebagai sebuah cerminan, terkait berlangsungnya Pemilu di Indonesia
yang pada dasarnya adalah pesta demokrasi, nyatanya masih belum banyak
masyarakat yang paham akan seluk beluk atau kredibilitas partai-partai dan
bakal calon pemimpin Indonesia yang berpartisipasi dalam sebuah ajang Pemilu,
terkhusus di pelosok desa yang mayoritas masih berprofesi sebagai buruh tani,
laporan survei CSIS Indonesia ( Centre
for strategic and International Studies), dibeberapa kurun waktu terakhir
terjadi naik-turun tingkat partisipasi Pemilu masayarakat Indonesia, dan juga
kualitas Pemilu di Indonesia juga masih sangat rawan akan diwarnai dengan Money Politic atau Politik Uang,
terutama terjadi di desa-desa yang tingkat pendidikan dan mata pencahariannya
masih rendah. (Laporan Survei CSIS Indonesia,
2017)
Mereka hanya sekedar menjadi alat suara, bagi para peserta Pemilu tanpa
mengetahui siapa saja tokoh yang terlibat di dalamnya, disinilah muncul istilah
Buta Pemilu yang diperparah dengan terbatasnya akses informasi yang ada, Pemilu
seolah hanya menjadi ajang mencari kekuasaan semata tanpa memperdulikan
kualitas Pemilu yang terselenggara.
Pada akhirnya akan ada dua kubu
yang berbeda tumbuh di beberapa pelosok desa, yaitu kubu Golput dan kubu Buta
Pemilu, menurut Arbi Sanit salah seorang pakar politik Indonesia, mengungkapkan
bawasannya Golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap
problem kebangsaan. (Sanit, 2007) Artinya disini
adalah Golput berbeda dengan Buta Pemilu Golput adalah sebuah dampak dari
proses Pemilu yang terkadang hasilnya tidaksesuai dengan apa yang diharapkan,
tokoh yang terpilih tidak mampu merealisasikan janji-janji kampanyenya,
sehingga hal ini berdampak signifikan akan turunnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap sebuah penyelenggaraan Pemilu, kebanyakan para kubu Golput
adalah mereka yang melek politik dan memutuskan untuk tidak memilih bakal calon dengan berbagai pertimbangan mereka sendiri,
sedangkan apa yang saya maksud disini sebagai Buta Pemilu adalah meraka warga
masyarakat yang hanya memilih dalam Pemilu, (1) Tanpa sumber informasi yang
jelas, (2) Terkesan hanya ikut-ikutan, (3) Mudah dimobilisasi suaranya oleh
golongan-golongan tertentu, (4) Mudah dibujuk oleh Money Politic atau Politik Uang.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa
tidak semua masayarakat desa mengidap Buta Pemilu, masih ada golongan -
golongan yang mengamati begitu seksama mengenai Pemilu di Indonesia terutama
Aaktivis-aktivis muda desa, yang biasanya membentuk suatu wadah Karang taruna
desa, Karang Taruna dalah organisasi sosial yang bergerak di bidang
kesejahteraan dan sosial masayarakat desa, pengoptimalan peran Karang Taruna
inilah yang menjadi bahasan topik kali ini, dimana peran mereka seharusnya
tidak lagi diremehkan karena dengan mengoptimalkan peran pemuda-pemuda ini yang
notabene kaya akan informasi dunia luar, sangat amat dibutuhkan oleh warga
masyarakat desa khususnya para pekerja , dan buruh tani, yang terkadang sibuk
bekerja dan enggan menyimak kondisi perpolitikan di Indonesia, melalui gerakan
yang saya sebut sebagai gerakan “Kampanye Anti Buta Pemilu” disinilah akan
dioptimalisasikan peran Pemuda Karang Taruna sebagai pemotor atau penggerak
informasi-informasi penting di desa.
Pemuda Karang Taruna dapat
melakukan berbagai alternatif usaha, untuk menyebarluaskan informasi Pemilu di
desa:
- Melalui
seminar bedah kandidat dan partai di tempat strategis ( balai desa ).
- Melalui
penerbitan poster atau surat kabar yang berisi para kandidat tokoh dan
biography lengkap para tokoh peserta Pemilu
- Menggencarkan
safari dari rumah ke rumah
Tentunya aternatif-alternatif
diatas tidak akan mampu berjalan secara baik tanpa adanya turut serta
pemerintah melalui kebijakan pemilu yang diambil, menurut Affan Gaffar dalam
bukunya Poitik Indonesia Pemilu
hendaknya bersifat Praktis, artinya tidak rumit dan dan gampang dimengerti,
oleh kalangan masyarakat kalangan banyak. Menelaah apa yang diungkapkan oleh
Affan Gaffar bawasannya peran serta pemerintah dalam membuat kepraktisan dalam
Pemilu sangat amat dibutuhkan, pemerintah pusat dapat juga menjadikan Pemuda
Karang Taruna menjadi tulang punggung untuk sosialisasi dan kampanye di
desa-desa yang tujuan utamanya adalah untuk mengatasi Buta Pemilu di Indonesia
yang kerap melanda banyak desa di indonesia.
Sebagai warga negara Indonesia yang
peduli, selayaknya kita mendukung kampanye Anti Buta Pemilu ini karena pada
dasarnya tujuan implisit dari kampanye Anti Buta Pemilu ini juga termasuk
sebagai upaya untuk mengembalikan kembali perihal tingkat kepercayaan masyarakat,
terhadap pemimpin Indonesia nantinya, dan juga untuk menghindari sikap Apatime. Dalam sebuah survei pda tahun
2013, melibatkan 2.290 responden, margin
of error ditetapkan sebesar 2,1 persen, dengan tingkat kepercayaan sebesar
95 persen, dan hasilnya 58 persen responden menyatakan tidak percaya akan
segala hal yang berhubungan dengan Politik. (Merdeka.com, 2012) Termasuk didalamnya adalah mengenai
Pemilu, jika saja tingkat kepercayaan, sikap apatis, materialistis, hingga buta
pemilu, mampu di tanggulangi secara bertahap, akan mampu memberikan kontribusi
yang luar biasa terhadap Demokrasi di Indonesia. Tidak akan ada lagi
golongan-golongan partai yang seharusnya belum layak untuk merekomendasikan
kader-kadernya sebagai calon Presiden dan calon legislatif ikut serta dalam
Pemilu, karena para pemilih tetap, nantinya akan sangat objektif dalam memilih
calon-calon yang benar-benar mempunyai kredibilitas yang baik. Dan jika upaya-upaya yang dilakukan telah
terhimpun dengan baik dan mempunyai sifat yang berkelanjutan, bukan tidak
mungkin Pemilu di Indonesia, entah Pemilu Presiden, Legislatif, Pemilukada,
atau bahkan Pilkades pun, akan berjalan secara ketat dan bermartabat. (Gaffar, 1999)